Assalaamu’alaikum.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad.
Wa’alaa ali shalli ‘alaa Muhammad.
Sahabat yang dirahmati Allah, pernahkah kita mendapati jiwa kita dalam
keadaan angkuh dan hati kita dalam keadaan keras? Ketika kita merasa berat
untuk melakukan kebaikan, ketika kita merasa berat untuk menundukkan hati di
dalam sholat kepada Allah, ketika kita merasa kita adalah orang yang paling
hebat di dunia ini, ketika kita tidak peduli dengan kepedihan yang terjadi di
lingkungan sekitar kita? Coba kita tengok kembali ke dalam diri kita dan
bertanyalah, “Apakah aku ingat pada kematian?”
Sahabat, kematian adalah sebuah kepastian, jasad kita akan terbaring
di dalam tanah dan berteman dengan cacing-cacing. Tetapi terkadang kita lupa,
terkadang kita terlalu berkonsentrasi dengan kepentingan duniawi untuk mencapai
angan-angan kita. Seakan-akan kita tidak peduli dan justru ingin menghindari
kematian.
Allah swt berfirman dalam surat Al Jumuah ayat 8:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada Allah, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS Al-Jumu’ah ayat 8)
Sudah sepantasnya kita mengingat, mempersiapkan, merencanakan,
memperhatikan, dan mengumpulkan daya untuk sebuah kematian. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas
adalah orang yang menginstrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah
kematian.” (HR Tirmidzi)
Sahabat, mari kita ingat kembali teman-teman kita yang telah tiada.
Mereka yang 3 hari yang lalu masih tersenyum dengan kita, masih bercanda,
memegang jabatan, dan membagi ilmu, tetapi 2 hari yang lalu telah meninggal dan
terkubur di dalam tanah. Mereka telah terkubur dan wajah elok mereka telah
bercampur dengan tanah dan dimakan oleh cacing-cacing. Jika kita bayangkan diri
kita yang menggantikannya, apakah kita sudah siap? Sudah cukupkah bekal kita
untuknya?
Salah satu hal yang menyebabkan kita sering lupa dengan kematian
adalah panjang angan-angan. Rasulullah saw bersabda, “Perumpangaan anak Adam,
di sisinya adalah Sembilan puluh Sembilan kematian, jika ia luput dari beberapa
kematian, maka ia pasti jatuh dalam ketuaan.” (HR Tirmidzi). Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Ini orang dan ini beberapa kematian yang ada di sekitarnya
berjalan kepadanya, ketuaan berada di belakang kematian, sedangkan angan-angan
berada di belakang ketuaan. Dia berangan-angan. Sedangkan beberapa kematian itu
berjalan kepadanya, maka kematian yang lebih cepat sampai akan mengambilnya.
Jika ia luput dari beberapa kematian, maka pasti akan terbunuh oleh ketuaan
seraya menanti ajal.”
Panjang angan-angan itu dapat disebabkan oleh dua hal yaitu cinta
dunia dan adanya kebodohan. Terkadang seseorang jika diingatkan akan kematian,
dia menunda-nunda dan menjanjikan dirinya seraya berkata, “Masih banyak waktu
untukmu bertaubat.” Nanti saja jika sudah tua, nanti saja jika sudah renta, ia
pun terus menundanya sampai akhirnya datang kematian tanpa persiapan darinya.
Karena kebutuhan manusia tidak akan pernah berakhir. Yang kedua adalah
kebodohan yaitu terlalu percaya dengan masa muda sehingga menganggap kematian
jauh dari anak muda dan tidak datang secara tiba-tiba. Padahal kematian itu
tidak jauh. Seperti sakit yang terjadi secara tiba-tiba, kematian pun datang
secara tiba-tiba. Tetapi kebodohan akan hal ini dan cinta dunia membuatnya mempertinggi
angan-angan dan mengabaikan kematian yang sudah dekat.
Sahabat yang dirahmati Allah, demikianlah sedikit ilmu yang dapat saya
bagikan dari beberapa buku yang pernah saya baca dan beberapa kajian yang
pernah saya ikuti. Kebaikan itu dari Allah, sementara keburukan itu berasal
dari kelalaian saya ataupun bisikan syetan. Wallaahua’lam. Semoga kita
senantiasa menghiasi hari-hari kita dengan keinginan untuk senantiasa
memperbaiki diri, memperbaiki ibadah-ibadah kita, dan tidak disibukkan dengan
kepentingan duniawi. Aaamin. Semoga bermanfaat.
Wassalaamu’alaikum.
Referensi rujukan:
Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin oleh Sa’id Hawwa, 2005
0 Comment:
Post a Comment