Mush’ab Bin Umair, Sosok Inspiratif yang Terlupakan sebagai
Teladan Ketangguhan Menghadapi Rintangan Permulaan Hijrah
Oleh: Ellena Wulandari (Universitas Gadjah Mada)
Published as the 1st Runner Up in NATIONAL ESSAY COMPETITION
ASMF 2015, KMFPT, Universitas Gadjah Mada, 15 December 2015
No Plagiarism. Feedback or Correction: ellenawulandarimail@gmail.com
Menurut data dari Biro Pengendalian
Operasi, Mabes Polri (BPS, 2013), jumlah kasus kejahatan di Indonesia yang
telah dilaporkan pada tahun 2010 adalah sebesar 332.490 kasus, lalu meningkat
menjadi 346.605 kasus pada tahun 2011, dan 341.159 kasus pada tahun 2012.
Persentase kejahatan yang menonjol pada tahun 2012 adalah pencurian (29,61%),
penganiayaan (4,35%), narkoba (4,86%), perjudian (2,86%), pemerasan (1,38%),
dan korupsi (0,11%). Kondisi kejahatan tersebut sangat memprihatinkan, terlebih
jika kita ingat bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya
adalah muslim. Menurut data dari Biro Pusat Statistik (2011), jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa, dengan 87,18% adalah muslim.
Hal ini tentunya menjadi sebuah tanda tanya ketika suatu negara dengan gelar
mayoritas muslim, memiliki berbagai permasalahan yang bertentangan dengan
ajaran Islam itu sendiri.
Pertentangan itu tentunya memiliki
akar yang tumbuh menjadi kebiasaan-kebiasaan pada bangsanya yang dapat
disebabkan oleh hal-hal kecil di sekitar kita. Kita ambil contoh yang sederhana
saja. Jika kita memasukkan kata kunci “pemuda inspiratif Indonesia” dalam search engine kita, hasil yang akan
muncul adalah beberapa nama pemuda dengan prestasi gemilang yang mungkin juga
kita ketahui sejak lama. Ada peraih IPK 4, pemenang kontes robot internasional,
penulis buku, doktor termuda, dan sederetan pemuda lain peraih prestasi yang
memperoleh gelar “inspiratif”. Terkadang, nilai-nilai yang akan kita peroleh
dari mereka adalah nilai-nilai yang jauh dari Islam meskipun mereka adalah
muslim. Hal ini adalah salah satu indikator bahwa nilai-nilai Islam itu sendiri
belum tertanam secara keseluruhan kepada bangsa Indonesia yang mayoritas muslim
ini karena salah satu indikator seseorang yang mengerti Islam secara
keseluruhan adalah ketika ia mulai mengedepankan kepentingan akhirat di atas
kepentingan dunia. Tidak banyak pemuda muslim yang mulai mengaitkan setiap
peristiwa dengan agama. Padahal, Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa
yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya,
menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan
hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan
mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk
matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.”
(Hadist Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (V/183).
Mulai mengedepankan kepentingan
akhirat terhadap kepentingan dunia memerlukan sebuah perjalanan panjang yang
disebut dengan hijrah. Hijrah secara
bahasa berasal dari kata Hajara Yahjuru
Hajran yang artinya memutuskan hubungan (Yunus, 1990) dan merupakan lawan
dari al Wasl atau menyambung sehingga
hijrah dapat juga diartikan sebagai berpindah dari suatu tempat ke tempat lain
(Ghianovan, 2014).
Tempat di sini juga dapat diartikan sebagai sebuah pelajaran atau hikmah yang berhasil
kita raih setelah melakukan perjalanan dan pencarian (Jazuli, 2006).
Mungkin memang tidak mudah, ketika
kita harus mengedepankan kepentingan akhirat terhadap kepentingan dunia. Salah
satu hal yang dapat menjadi indikator frasa tidak
mudah ini muncul adalah saat ini jarang kita dapati cerita pemuda muslim
jaman Rasulullah saw. yang mampu menginspirasi kita pada pembelajaran dan
buku-buku umum. Kita pun jarang menemukan nama-nama mereka dalam search engine kita. Salah satu sahabat
Rasulullah saw. yang inspiratif adalah Mush’ab bin Umair, seorang sahabat yang mampu
mempertahankan tekadnya untuk berhijrah di tengah keluarga yang sangat membenci
Islam.
Mush’ab bin Umair adalah pemuda
kafir Quraisy yang terbuka hatinya untuk memilih beriman kepada Allah setelah mendengar
ayat suci Al-Qur’an berkumandang dari bibir Rasulullah dalam sebuah lingkaran cahaya
di rumah Arqam bin Abil Arqam. Setelah memeluk Islam, Mush’ab harus
melaksanakan sholat secara sembunyi-sembunyi agar keluarganya tidak mengetahui
keislamannya. Mush’ab sangat bersemangat untuk belajar ilmu agama serta
memiliki kepandaian dalam berargumentasi sehingga Rasulullah saw. mengirimkan
beliau dakwah di Madinah. Beliau rela meninggalkan kemewahan dunia untuk
berjihad demi mengejar kehidupan di akhirat hingga akhirnya syahid dalam perang
Uhud.
Jika kita ingat kembali kasus
kejahatan yang marak terjadi di negara dengan mayoritas penduduk muslim, maka
satu hal yang patut kita pertanyakan adalah:
Sudah
tertanamkah makna hijrah yang sesungguhnya pada setiap pemuda muslim di negeri
ini? Sudah adakah perjalanan untuk mengedepankan kepentingan akhirat terhadap
kepentingan dunia?
Perjalanan ini memang tidak mudah.
Banyak hal yang harus kita relakan ketika kita memutuskan untuk berhijrah. Beberapa
hari yang lalu saya bertemu dengan seorang mahasiswi di departemen saya,
Departemen Teknik Fisika UGM. Beliau adalah seorang muslimah yang dulunya
pernah menjadi bintang dalam sebuah majalah remaja. Setelah mendengar cerita
beliau, ternyata bukanlah sebuah hal yang mudah ketika harus memutuskan memakai
kerudung di tengah prestasi yang gemilang waktu SMA. Keputusan beliau untuk
tetap mempertahankan pendirian dalam beragama mengalami fluktuasi yang harus
selalu dikuatkan. Hingga hijrahnya kini mengantarkan beliau pada atmosfer
prestasi yang juga gemilang. Beliau berhasil memperoleh juara pada beberapa
perlombaan kepenulisan dan penelitian. Bahkan di tengah aktivitas-aktivitas
sosial beliau yang padat, beliau justru memperoleh banyak celah menuju target
pribadi yang terjadi dari pertolongan Allah.
Kisah ini adalah sebuah kisah
teladan bahwa awal untuk berhijrah memang sulit. Akan tetapi, seperti pada
hadits Rasulullah saw di atas, ketika kita mampu mempertahankan orientasi kita akhirat,
maka perlahan keberhasilan dunia itu akan kita dapatkan. Bahkan Islam pun
mengarahkan pada keseimbangan dunia dan akhirat.
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS.
Al Qashash ayat 77)
Sehingga kita bisa menyeimbangkan di
antara keduanya. Dalam buku Majmu’atu Rasa’il (2012), Hasan Al Banna mengumpamakan
sahabat-sahabat Rasulullah saw. sebagai rahib di malam hari dan penunggang kuda
di siang hari. Mereka adalah orang yang mampu menikmati malamnya dengan dzikir
dan ibadah kepada Allah lalu ketika datang waktu untuk berjihad, maka mereka
akan segera melaksanakannya selayaknya penunggang kuda yang siap bertempur.
Kembali lagi pada frasa tidak mudah dalam memulai berhijrah. Salah
satu hal yang harus dilakukan pemuda untuk menghilangkan frasa tersebut adalah
dengan mempelajari agama Islam secara keseluruhan sehingga kita akan menemukan
alasan mengapa kita harus melaksanakan hijrah. Al Qur’an sebagai sumber
pembelajaran yang pertama memberikan beberapa tujuan manusia hidup di dunia,
salah satunya adalah untuk mencari kesenangan. Padahal sebagaimana yang
disampaikan oleh Hasan Al Banna (2012), ada tujuan lebih mulia yang dapat kita
ambil, salah satunya adalah menjadi khalifah. Firman Allah dalam Al Qur’an
memberikan mandat dan hak kepemimpinan atas dunia kepada manusia. Ketika kita
telah memahami makna tersebut, maka kita mampu menyadari bahwa ada tanggung
jawab yang harus dilaksanakan untuk memimpin dunia menuju kebaikan sebelum ajal
datang.
Akan tetapi setelah kita mampu
memulai hijrah, bukan tidak mungkin akan datang beberapa masalah yang membuat
kita terkadang ingin berhenti dan kembali lagi pada masa yang penuh dengan
kenikmatan duniawi. Seperti Mush’ab bin Umair yang harus menanggung amarah dari
keluarganya harus melepaskan segenap kekayaannya untuk melanjutkan jalan perjuangan
Islam.
Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah
beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al ‘Ankabuut ayat 2)
Dalam masa seperti itu, kita
membutuhkan teman untuk mengingatkan tujuan awal kita dalam jalan ini. Hingga
kita akan berjuang bersama-sama dalam sebuah lingkaran cahaya. Karena pejuang
yang sendiri adalah seperti sebuah lidi dan pejuang yang bersama-sama adalah
seperti lidi-lidi yang menyatu menjadi sebuah sapu lidi. Sering mendengarkan
ceramah Rasulullah saw dalam sebuah lingkaran cahaya menjadikan Mush’ab bin
Umair semakin yakin dengan keputusan yang akan beliau ambil. Beliau pun meninggalkan
kemewahan duniawinya agar dapat menjadi salah satu mujahid dalam perang Uhud.
Pada akhirnya kita akan menyadari
satu titik yang disebut dengan kesadaran masing-masing individu. Dalam era
kekinian, teknologi komunikasi telah memudahkan kita untuk dapat saling
berkomunikasi. Tidak ada alasan tidak mengikuti sebuah perkumpulan hanya karena
kita tidak mengetahui ada panggilan. Tidak ada alasan tidak menemukan sumber
belajar agama yang tepat karena kita dapat mencarinya dalam search engine kita dengan pemilihan kata
kunci yang tepat. Bahkan melalui teknologi yang memanjakan kita saat ini, kita
dapat menebarkan kebaikan-kebaikan kepada banyak orang, sekalipun hanya dengan
cara-cara yang sederhana seperti menulis artikel dan mempublikasikannya. Tinggal
hati yang selalu diteguhkan untuk memahami Islam secara keseluruhan. Tinggal
hati yang harus selalu dikuatkan dengan cahaya dari Allah. Tinggal bagaimana
doa yang kita panjatkan setiap sepertiga malam kepada Allah yang
membolak-balikkan hati agar meneguhkan hati kita pada agama-Nya.
Yaa
muqollibal qulub, tsabbit qolbi ‘ala diinik.
Wahai
zat pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.
(HR.
Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahikan oleh Adz Dzhabi)
REFERENSI
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kriminal 2013. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
Badan
Pusat Statistik. 2011. Kewarganegaraan,
Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus
Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Yunus, M. 1990. Kamus Arab-Indonesia cetakan 9. PT. Hidakarya Agung. Jakarta.
Ghianovan, J. 2014. Relasi Makna Hijrah dan Migrasi dalam Al Quran. Skripsi. Ilmu Tafsir
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Jazuli,
A. S. 2006. Hijrah dalam Pandangan Alquran. Terjemahan Eko Yulianti. Gema
Insani Press. Jakarta.
Banna,
H. A. 2012. Majmu’ah Rasa’ilil Imam Asy Sahid Hasan Al-Banna.
Al-Bashair lil Buhuts wad Dirasat. Mesir. Terjemahan Anis Matta, dkk. 2012. Majmu’atu Rasa’il. PT Era Adicitra
Intermedia. Solo.
0 Comment:
Post a Comment