Sebuah berita yang
memprihatinkan untuk dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University, AS, Indonesia menempati
peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi (Kompas, 2016). Literasi
adalah kemampuan menambah dan mengembangkan pengetahuan, potensi diri, dan
peran di masyarakat melalui keterampilan
memahami, menggunakan, dan melakukan refleksi terhadap bacaan (OECD,
2003). Rendahnya literasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
Indonesia belum mengikutsertakan kegiatan membaca dalam berpikir serta menulis
apa yang dilakukan hingga menghasilkan karya. Memang sesuai dengan kondisi
bangsa yang lebih senang mengalokasikan waktu berjam-jam untuk membuka media
sosial dari pada membaca buku. Dilansir dari Kompas (2016), budaya membaca Indonesia
masih sangat rendah (2-4 jam sehari) dimana UNESCO menetapkan standar membaca
4-6 jam sehari dan negara maju 6-8 jam sehari.
Untuk mengatasi hal ini, salah
satu langkah yang dilakukan oleh Kemdikbud adalah membentuk Gerakan Literasi
Sekolah yang terdiri dari gerakan membaca 15 menit buku non akademika sebelum
dimulai pelajaran, pembagian buku bacaan, dan workshop literasi. Menarik
memang. Ketika banyak siswa yang dituntut untuk mengerti sejumlah buku-buku
pelajaran, mereka diberikan kesempatan untuk membaca buku di luar pelajaran
seperti novel, biografi, dan komik. Buku sastra memang dianjurkan untuk dibaca
karena mampu menarik emosi pembaca dan menghadirkan mimpi kemanusiaan yang
tidak akan diperoleh di dalam buku pelajaran (Supriano, 2015).
Sebagai masyarakat yang
tumbuh di negara berkembang, kita memiliki hak untuk memilih apakah ingin
menjadi bagian dari perkembangan literasi Indonesia atau justru diam dan
bersembunyi. Sebetulnya hal ini dapat kita lakukan dengan mulai membiasakan
membaca buku non bidang ilmu minimal 30 menit setiap hari. Dari
kebiasaan-kebiasaan kecil inilah, maka akan terbentuk budaya haus membaca ketika
dalam satu hari tidak membaca buku.
Menumbuhkan budaya literasi
di dalam diri sendiri tidak sesulit menumbuhkannya di masyarakat pedesaan.
Memulai menggerakkan literasi di masyarakat pedesaan yang identik dengan rendahnya
pendidikan membutuhkan usaha keras. Salah
satu pendekatan yang dapat dilakukan menurut seorang anggota Yayasan
Pengembangan Perpustakaan Indonesia, Trini Haryanti (2014) adalah mendekatkan
masyarakat pedesaan dengan penyediaan fasilitas membaca yang mudah diakses
seperti Taman Baca.
Salah Satu Taman Baca di Masyarakat Pedesaan |
Ditulis sebagai awalan pengembangan Taman Baca Kebonrejo
21 September 2016 | Ellena Wulandari
Tulisan ini dipublikasikan di: http://www.kebonrejo.com/2016/09/mengenal-literasi-indonesia-dan.html
Tulisan ini dipublikasikan di: http://www.kebonrejo.com/2016/09/mengenal-literasi-indonesia-dan.html
Referensi:
Kompas, 2016, Rendahnya
Peringkat Literasi, Artikel, diakses 21 September 2016 dari http://print.kompas.com/baca/2016/04/20/Rendahnya-Peringkat-Literasi-(1)
OECD, 2003, Literacy Skills
fot the World of Tomorrow – Further Results from PISA (2000), Organisation for
Economic Co-operation & Development & Unesco Institute for Statistics
Supriano, 2015, Memulai
Gerakan Literasi (Sastra), Artikel, diakses 21 September 2016 dari http://ditpsmp.kemdikbud.go.id/oldMain/berita/111-memulai-gerakan-literasi
Haryanti, Titis, 2014,
Membangun Budaya Literasi dengan Pendekatan Kultural di Komunitas Adat,
Artikel, diakses 21 September 2016 dari http://www.triniharyanti.id/2014/02/membangun-budaya-literasi-dengan.html
0 Comment:
Post a Comment