Setelah
sekian lama tidak menulis resensi buku di blog ini, rasanya saya memiliki
hutang yang harus saya bayar. Entah mengapa, semester lima ini saya jarang sekali membaca buku noneksakta. Saya hanya membaca buku atau majalah tentang
konservasi energi dan kawan-kawannya. Hanya ada beberapa buku noneksakta yang saya
baca dan itupun (lagi-lagi) hanya untuk memenuhi tugas bacaan yang tentunya
hanya terdiri dari beberapa bab atau subbab saja. Untuk membayar hutang kepada
diri sendiri dan kepada pembaca tentunya, saya pun sudah menemukan beberapa
daftar buku yang akan saya baca ketika liburan. Selamat datang, book review. Semoga
bermanfaat.
Nah,
buku pertama yang (selesai) saya baca ketika liburan berjudul Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Salah satu buku dari Seri Buku Tempo: Bapak Negara ini
adalah sebuah buku kumpulan cerita tentang Tjkroaminoto yang dikemas menggunakan
bahasa jurnalistik.
Penyunting : Budi Setyarso, Redaksi KPG
Penerbit : Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : 2011
Halaman : xiv, 146 halaman
Siapa yang tidak mengenal Bapak
Tjokro? Kemampuan beliau dalam memperjuangkan pergerakan ketika jaman
penjajahan Belanda di negeri dengan nilai-nilai Islam membuat beberapa
organisasi berlandaskan Islam ketika itu berkembang sangat pesat. Menurut
Tjokro, asas-asas Islam sejalan dengan demokrasi dan sosialisme. Maka kaum
muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan umat. Dalam tulisan beliau yang dimuat di Sendjata Pemoeda, surat kabar pemuda PSII, Tjokro menegaskan:
keutamaan, kebesaran, kemuliaan, dan keberanian bisa tercapai lewat ilmu tauhid,
ilmu tentang ketuhanan (Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa, hal 28).
Sebut saja, Sarekat Islam (SI),
sebuah organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhoedi pada tahun 1911 adalah
salah satunya. SI merupakan sebuah organisasi yang berdiri akibat persaingan
pedagang batik dari Cina dan Pribumi. Semenjak Tjokro diangkat menjadi pemimpin
dalam SI dan melakukan perombakan, beliau mampu membuat SI tumbuh dengan
kekuatan politik ideologis dan memiliki banyak pengikut.
Tjokroaminoto adalah salah
satu keluarga bangsawan yang mau meninggalkan kehidupan mewahnya di Semarang untuk berada di
tengah-tengah rakyat dan memperjuangkan kesetaraan bangsa. Hal yang beliau lakukan
atas dasar jiwa berontak beliau terhadap feodalisme ini membuat Pemerintah
Belanda menyebutnya “Raja tanpa Mahkota”.
Bersama istri, beliau membuka
kos-kosan di Surabaya yang ditempati oleh beberapa orang yang akhirnya menjadi
pemimpin bangsa, seperti Sukarno, Alimin, Musso, Soeherman Kartowisastro, dan
Semaoen. Melalui kehidupan serumah itulah yang membuat pemimpin-pemimpin
tersebut dapat belajar tentang pergerakan, salah satunya Sukarno. Beliau sering
mendengarkan beberapa tokoh pergerakan yang berdiskusi dan berkunjung ke rumah
Tjokro. Selain itu, beliau juga terinspirasi dengan kemampuan Tjokro dalam
berpidato. Dengan menambahkan variasi intonasi, hal ini melahirkan gaya pidato
hebat Sukarno yang kita kenang hingga sekarang. Selain Sukarno, orang yang juga
memperoleh inspirasi dari Tjokro adalah Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Tjokro menggerakkan banyak anggota
SI melalui tulisan beliau dalam surat kabar Oetoesan Hindia, tempat beliau menjabat
sebagai pemimpin redaksi sekaligus direktur administrasi. Beliau juga
mendirikan sekolah-sekolah Tjokroaminoto mulai pada tahun 1930-an yang mengangkat
pendidikan mengenai arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum, dan ilmu
keislaman, sehingga tidak diragukan lagi kemampuan beliau dalam mencetak pendiri-pendiri bangsa.
Ketika beliau pindah ke Yogyakarta,
beliau merekrut beberapa orang untuk menjadi pengurus SI seperti Abdol Moeis,
Agoes Salim, Ahmad Dahlan, AM Snagaji, Kartosoewirjo, Muhammad Roem. Namun setelah
kongres Madiun sebagai puncak kejatuhan SI, Alimin, Darsono, dan Semaoen
membentuk Sarekat Rakyat. Sementar Tjokro, Agoes Salim, Abdoesl Moeis, dan A. M.
Sangaji mendirikan Partai Sarekat Islam Hindia Timur lalu berganti namanya menjadi
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setelah SI mulai melemah ini, surat
kabar Oetoesan Hindia tersebut tidak kembali beredar dan digantikan dengan
surat kabar Fadjar Asia. Akan tetapi akhirnya PSII lemah dalam pengkaderan yang
mungkin disebabkan oleh terlalu dominannya figur Tjokro sehingga beberapa
rekan berjalan sendiri-sendiri.
Dalam tulisan Anhar Gonggong,
sejarawan, rumah Tjokroaminoto adalah rumah ideologis dan dialogis, yaitu
tempat bertemunya tokoh-tokoh yang pada akhirnya memiliki perbedaan ideologi. Bonnie Triyana, sejarawan, menyampaikan bahwa Tjokro
adalah “godfather” dari pada founding father negeri ini yang memiliki pemahaman sendiri-sendiri yaitu Sukarno dengan golongan nasionalisnya,
Musso-Alimin komunis, dan Kartosoewirjo dengan ideologi Islam. Hingga akhirnya
setiap tokoh yang pernah tinggal dan belajar di sana, tambah Anhar Gonggong,
memperjuangkan kemerdekaan dengan tujuan dan ideologi masing-masing, sehingga
tidak salah jika dikatakan bahwa itu adalah tragedi sejarah.
Buku ini sangat
menarik untuk dibaca, karena buku sejarah ini dikemas dengan sajian ringan dan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat awam. Di samping itu, adanya beberapa foto kehidupan yang
dicantumkan dalam buku ini membuat pembaca kembali mengingat wajah para tokoh yang
disebutkan dalam buku ini. Akan tetapi, sekumpulan cerita bergaya jurnalistik
yang dikemas dalam buku ini membuat pembaca harus mampu menghubungkan setiap
peristiwa antar cerita sehingga dapat
tercipta alur pemahaman yang komprehensif.
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa ini terdiri dari buku-buku para tokoh selain Tjokro, yaitu Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Hamengku Buwono IX, Agus Salim, dan Douwe Dekker. Doakan saja semoga saya bisa membaca semua. Yakin banget? Lihat aja nanti :D
Sumber buku:
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta
0 Comment:
Post a Comment