Hujan November kembali
hadir mengiringi sendunya suasana Fakultas Teknik yang saat ini sedang penuh dengan
berita tentang pemilu. Bukan hanya pemilihan bupati yang membuat mahasiswa
senang karena libur, tetapi juga pemilihan ketua BEM KMFT yang kabarnya
(lagi-lagi) hanya ada satu calon. Meskipun kali ini saya tidak ikut campur dan
hanya mendengar kabar (alhamdulillah) suasana politik tahun ini tak seperti
tahun lalu ketika saya dan 8 teman lainnya menjadi KPU.
Langkah ini akhirnya
mantab untuk pulang langsung karena saya yakin hujan ini tak akan sebentar,
sehingga percuma menunggunya hingga nanti malam. Hujan-hujan, hmmm enaknya makan apa yaa? Mie Ayam! Yaps.
Benar sekali. Niat ini diperkuat oleh pengaruh dari salah satu berita di timeline Line yang adik pandu saya bagikan
yaitu, “Memberi kebahagiaan kepada orang tua itu sederhana. Sekalipun hanya
pulang kuliah membawa roti bakar.” Setelah itu, saya pun membeli Mie Ayam
dengan sisa uang beasiswa yang ada di dompet. Yah, nggak sama-sama banget
kok, kan bukan roti bakar hehehe.
Di antara pandangan
yang gelap sembari bersiaga jika tiba-tiba ada orang naik sepeda kayuh di depan
motor, saya mencari warung Mie Ayam di sebelah kiri jalan Srandakan (jika ada)
sehingga saya tidak perlu menyeberang. Yes!
Dapat! Ah, tapi terlewat! Hmmm tapi
kasihan juga itu Mie Ayamnya nggak laku. Males balik ellen L
Ah udah lah, balik aja. Akhirnya,
bisikan baik saya mampu mengalahkan bisikan jahat saya. Saya pun putar balik
dan sampai.
Sepasang suami istri
yang sudah tua itu langsung menyambut saya dengan hangat. Benar-benar terenyuh.
Mungkin beliau-beliau berpikiran, “Kasihannya ibu ini, malem-malem, capek habis
kerja, hujan lagi.” Berharap banget ada
yang bilang gitu ya? Hihihi. Tunggu! Ibu? Hmmm yasudahlah…. Saya pun
langsung memesan Mie Ayam tanpa micin, kuahnya dipisah, pakai acar yang dipisah
juga, dan nggak usah pakai saus kecap. Banyak maunya yaa? Hmmm.
“Oh iyaa, monggo
lenggah rumiyin.” Oh iyaa, silakan duduk
dulu. Saya pun dipersilakan duduk. Pandangan saya langsung mengarah pada
dua buah sepeda motor yang sangat tua. And
do you know what? Motor itu adalah salah satu jenis motor yang paling
membuat saya sebel ketika di jalan.
Selain suaranya, asapnya itu loh, bikin
mabuk. Tetapi ternyata,
Bukan maksud beliau yang
menggunakan motor seperti itu untuk mengganggu pengguna jalan lain.
Bukan maksud beliau menambah
emisi gas berbahaya di udara.
Tetapi memang beliau belum mampu
membeli motor yang lebih baik dari itu.
Astaghfirullah. Saya
segera ingat bagaimana saya selalu berusaha menyalip ketika ada motor seperti
itu di hadapan motor saya. Bagaimana saya selalu mengeluh kesal ketika asap motor itu tercium oleh hidung saya? Bukankah
doa lebih baik dari itu semua?
Terkadang kita terlalu pelit memberikan ruang yang
lebih luas pada sudut pandang kita untuk memahami karena tertutup oleh “keinginan” yang
seolah-olah menjadi hak kita sebagai warga negara.
Selain terenyuh pada
dua sepeda motor di warung sederhana itu, saya juga terenyuh pada suami istri
itu menyiapkan tiga bungkus Mie Ayam dengan kompak. Hujan-hujan, di depan
gerobak warna biru, berduaan, saling bantu, meracik Mie Ayam. Ah, terlalu
romantis…
Setelah makan Mie Ayam tentunya (hehehe)
7 Desember 2015
Saya suka ttg bagaimana kamu memandang hal tsb, keren
ReplyDeleteTerima kasih banyak mas :)
ReplyDeleteTerima kasih lho sudah nyasar ke sini hehe
Keep writing "Goresan Tinta Seorang Pembelajar" :D
Wuaha kamu juga nyasar tuh ke tumblrku haha..
ReplyDeleteTerus menulis juga yaa! Tebarkan terus bulu angsa sejauh-jauhnya, semangat!
Saya selalu menelusuri orang-orang yang mengomentari blog saya mas :D
ReplyDeleteSiap!!